Lembaga Jaminan : Bangunan diatas Tanah Milik Orang lain

Sabtu, 12 Desember 2009 , Posted by LPK Jawa Timur at 12/12/2009 12:05:00 PM


Lembaga Jaminan : Bangunan diatas Tanah Milik Orang lain
KAJIAN YURIDIS

Pengikatan Jaminan Berupa Bangunan yang Dibangun Diatas Tanah Milik Pihak Lain

Kasus Posisi
BANK sedang melakukan restrukturisasi atas debiturnya dimana salah satu obyek  yang menjadi jaminan kredit adalah bangunan milik debitur yang dibangun di atas tanah milik pihak lain dan belum dilakukan pengikatan jaminan.

Permasalahan
Apakah lembaga jaminan yang dipergunakan untuk mengikat bangunan di atas tanah yang berbeda kepemilikannya ?

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT)
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Pembahasan
Pembebanan Hak Tanggungan menurut UUHT
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu

Persyaratan yang yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai objek Hak Tanggungan (Bab II UU Hak Tanggungan) antara lain :
    * Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa uang.
    * Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.
    * Mempunyai sifat yang dapat dipindah tangankan karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijaminkan akan dijual di depan umum.
    * Memerlukan penunjukkan oleh Undang-Undang.

Berdasarkan syarat diatas mengenai objek Hak Tanggungan sebagaimana tersebut dalam Pasal 4 jo Pasal 27 UU Hak Tanggungan dan Penjelasan Umum angka 5 bahwa yang merupakan objek Hak Tanggungan adalah :

Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf a, b, c sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA (Pasal 4 ayat (1) UUHT) yaitu Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33) dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39).
    * Yang ditunjuk oleh UURS (Pasal 27 UUHT jo. Pasal 12 dan 13 UURS).
    * Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a UU Rumah Susun jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
    * Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas tanak Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 13 huruf a UU Rumah Susun jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
    * Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2) UUHT).
    * Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.

Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dengan syarat pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh pemiliknya (pemilik tanah maupun pemilik bangunan/tanaman dsb) atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 UUHT).

Pembebanan Fidusia menurut UU Fidusia
Pengertian Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Dalam Pasal 1 angka 1 UU Fidusia menyatakan bahwa :

”Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”

Dari perumusan tersebut, dapat diketahui bahwa yang diserahkan dan dipindahkan dari pemiliknya kepada kreditor (pemegang fidusia) adalah hak kepemilikan suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditor.

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Fidusia, objek jaminan Fidusia meliputi benda bergerak dan tidak bergerak tertentu yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, dengan syarat bahwa kebendaaan tersebut ”dapat dimiliki dan dialihkan”, sehingga dengan demikian objek Jaminan Fidusia meliputi :
    * Benda bergerak yang berwujud;
    * Benda bergerak yang tidak berwujud;
    * Benda bergerak yang terdaftar;
    * Benda bergerak yang tidak terdaftar;
    * Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan;
    * Benda tidak bergerak tidak tertentu, yang tidak dibebani dengan Hipotik;
    * Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan.

Dalam penjelasan Pasal 6 huruf c UU Fidusia disebutkan uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya sehingga debitur yang ingin menjaminkan bangunan harus memiliki bukti kepemilikan atas bangunan yang berdiri pada tanah yang disewa tersebut.

Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Fidusia menegaskan bahwa undang-undang ini tidak berlaku terhadap :

    * Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar;
    * Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh)M3 atau lebih;
    * Hipotik atas pesawat terbang; dan
    * Gadai.

Berdasarkan penjelasan butir 5 diatas jelaslah bahwa bangunan yang dibangun diatas tanah sewa tersebut secara peraturan wajib didaftarkan untuk memenuhi asas publisitas sehingga dalam pengikatannya tidak dapat menggunakan lembaga Jaminan Fidusia, akan tetapi melalui lembaga Jaminan Hak Tanggungan.

Pendapat Para Ahli terkait Permasalahan di atas
Pendapat beberapa ahli hukum diantaranya diwakili oleh pendapat Rachmadi Usman, SH. MH. dalam bukunya berjudul ”Hukum Jaminan Keperdataan”, dalam menerjemahkan dan mengintepretasikan pengertian yang terkandung dalam Pasal 3 huruf a UU Fidusia berikut penjelasannya adalah berbeda.
Pendapat tersebut pada intinya menyatakan bahwa terhadap bangunan yang terpisah kepemilikannya dengan tanah tempat berdirinya bangunan tersebut dapat dilakukan pengikatan secara Fidusia, berdasarkan bunyi Penjelasan Pasal 3 huruf a UU Fidusia sebagai berikut (dikutip) :

”Berdasarkan ketentuan ini, maka bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan berdasarkan UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia.”

Sehingga menurut pendapat tersebut apabila pemilik tanah tidak ingin (baca : tidak mau) tanahnya diikat dengan Hak Tanggungan sehubungan dengan keinginan pemilik bangunan untuk membebani bangunannya dengan Hak Tanggungan, maka yang dapat ditempuh oleh pemilik bangunan adalah menjaminkan bangunan miliknya dengan Jaminan Fidusia.
Pendapat yang demikian ini menurut hemat kami sudah keluar dari prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam UU Hak Tanggungan maupun UU Fidusia serta lebih mengartikan Penjelasan Pasal 3 huruf a UU Fidusia secara letterlijke dan justru mengabaikan bunyi Pasal 3 huruf a UU Fidusia itu sendiri.
Pengertian ”tidak dapat dibebani Hak Tanggungan” dalam bunyi pasal dimaksud bukanlah dalam pengertian si pemilik tanah tidak mau dibebani Hak Tanggungan, namun pengertiannya adalah belum adanya ketentuan hukum yang dapat dipergunakan untuk mengatur pengikatan terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut. Maksud pembentuk undang-undang adalah sebagai antisipasi dari perkembangan dan kemajuan zaman yang memungkinkan terciptanya bangunan-bangunan atau benda yang secara yuridis tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. Bentuk bangunan atau benda yang ada saat ini dan tidak dapat dibebani Hak Tanggungan kiranya seperti rumah caravan, rumah knockdown, dsb.
Salah satu aspek yuridis lainnya yang perlu diperhatikan adalah mengenai ketentuan adanya kewajiban untuk mendaftarkan bangunan atau benda tersebut untuk memenuhi asas publisitas, yaitu kepastian hukum untuk mengetahui siapa pemilik dari bangunan atau benda-benda dimaksud. Apabila secara yuridis kewajiban untuk mendaftarkan dimaksud melekat pada bangunan atau benda tersebut, maka tidak ada jalan lain selain membebani bangunan atau benda tersebut dengan lembaga Jaminan Hak Tanggungan. Ketentuan inilah yang diabaikan oleh pendapat ahli hukum tersebut di atas.
Lalu bagaimana jika si pemilik tanah tempat berdirinya bangunan atau benda tersebut tidak mau dibebani Hak Tanggungan ? maka tiada lain kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya Hak Tanggungan. Hal ini sama berlaku apabila kreditur yang menyerahkan tanah miliknya sebagai jaminan, namun tidak mau dibebani Hak Tanggungan, maka de facto tidak terjadinya Hak Tanggungan.
Oleh sebab itu, maka jelaslah bunyi Pasal 3 huruf a UU Fidusia pada bagian akhir dari kalimatnya yang berbunyi  ”……sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftarkan.”

Kesimpulan dan Saran
Bangunan yang berdiri diatas tanah yang tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dapat dijadikan agunan dengan dibebani Hak Tanggungan sepanjang pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan tersebut dilakukan dengan penandatanganan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh pemiliknya (pemilik tanah maupun pemilik bangunan/tanaman dsb) atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya.
Ketentuan tersebut diatas menjadi acuan bagi tanah yang akan dibebani Hak Tanggungan jika kepemilikannya berbeda dengan pemilik tanah, sehingga pembebanan Hak Tanggungan dilakukan oleh pemilik tanah bersama-sama dengan pemilik bangunan dan/atau tanaman  dan/atau hasil karya dan/atau mesin-mesin tersebut, keduanya bertindak selaku Pemberi Hak Tanggungan.
Sehubungan dengan adanya syarat dalam pembebanan atas bangunan yang berada di atas tanah milik orang lain berdasarkan perjanjian sewa menyewa, maka yang perlu diperhatikan adalah perjanjian sewa menyewa antara pemilik tanah dengan pemilik bangunan, dimana dalam perjanjian sewa menyewa tersebut terdapat klausula yang mengatur mengenai tanah yang disewa tersebut dapat diikat Hak Tanggungan dalam rangka untuk membebani bangunan yang berdiri diatasnya dengan Hak Tanggungan. Apabila klausula tersebut tidak ada dalam perjanjian sewa, maka dengan persetujuan para pihak dapat dilakukan addendum / amandemen (perubahan) atas perjanjian sewa untuk memasukkan klausula dimaksud.

Selain itu yang perlu mendapat perhatian juga adalah mengenai jangka waktu pemberian kredit, dimana jangka waktu pemberian kredit tidak boleh lebih lama dari pada jangka waktu sewa tersebut.

… and justice for all …
Penyusun :  Achmad Susetyo dan Ni Putu Eka Prihatini
http://kasusperbankan.wordpress.com

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar

Untuk penulisan Komentar di mohon tidak menulis tulisan yang mengandung SARA. TERIMA KASIH